Konflik Kebijakan Pusat vs Daerah: Sejauh Mana Wewenang Gubernur Mengambil Keputusan
Wewenang pengelolaan pendidikan menengah (SMA/SMK) merupakan salah satu isu sentral dalam desentralisasi di Indonesia, seringkali memicu Konflik Kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Sejak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pengelolaan pendidikan menengah dipindahkan dari kabupaten/kota ke tangan provinsi, yang menempatkan Gubernur sebagai pemegang otoritas tertinggi di tingkat daerah. Pergeseran ini bertujuan untuk efisiensi dan standarisasi, namun pelaksanaannya tidak selalu mulus.
Wewenang Gubernur di bidang pendidikan menengah mencakup perencanaan anggaran, penetapan kurikulum muatan lokal, dan pengelolaan sarana prasarana sekolah. Gubernur bertanggung jawab atas pemerataan akses dan kualitas pendidikan di seluruh wilayah provinsi. Namun, kewenangan ini harus tetap tunduk pada kerangka regulasi nasional yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Batasan ini sering menjadi sumber Konflik Kebijakan saat implementasi di lapangan.
Konflik Kebijakan sering muncul karena adanya perbedaan prioritas anggaran. Pemerintah daerah, yang memiliki otonomi dalam alokasi APBD, mungkin memiliki prioritas yang berbeda dengan program unggulan yang dicanangkan oleh pusat. Misalnya, saat pusat mendorong program digitalisasi, daerah mungkin lebih memprioritaskan perbaikan infrastruktur fisik sekolah yang rusak. Perbedaan fokus ini menciptakan ketegangan dalam penggunaan dana yang terbatas.
Area lain yang menjadi potensi Konflik Kebijakan adalah pengangkatan dan penempatan guru serta kepala sekolah. Meskipun secara administrasi menjadi kewenangan Gubernur, standar kompetensi dan sertifikasi tetap berada di bawah kendali pusat. Jika Gubernur mengeluarkan kebijakan penempatan yang dianggap menyimpang dari standar nasional atau menimbulkan ketidakadilan, hal ini dapat memicu protes dan intervensi dari kementerian terkait di tingkat nasional.
Kunci untuk meredakan Konflik Kebijakan ini terletak pada komunikasi dan harmonisasi regulasi. Perlu adanya forum koordinasi yang kuat dan rutin antara pemerintah provinsi dan pusat untuk menyelaraskan tujuan dan menghindari duplikasi program. Notaris Indonesia seringkali dilibatkan dalam perumusan kerjasama hukum antar daerah, namun implementasi kebijakan publik membutuhkan kesepahaman politik dan teknis yang lebih dalam dan menyeluruh.
Meskipun Gubernur memegang kendali operasional, standar kurikulum inti dan evaluasi nasional (seperti Asesmen Nasional) tetap menjadi domain pemerintah pusat. Konflik Kebijakan yang efektif harus menghormati peran sentralistik pusat dalam menjaga mutu pendidikan nasional, sambil memberikan ruang otonomi kepada daerah untuk menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan lokal.